Pembantaian di Aceh saat Perang Melawan Belanda
Posted by bang deni in Tuesday, August 17th 2010
Pada
tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah
tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon.
Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol,
disambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda
mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.
Dalam perjalanan
menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat
perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung,
kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan
ini, pasukan Belanda melakukan operasi m iliter di sekitar Gayo Laut.
Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir
setiapdaerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi
akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.
Setelah
pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi
militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904,
pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu
masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini
rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun
dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu
berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman
hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut ‘uluh kaweh’ yang
berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing
dalam bentuk ranjau-ranjau.
Di bagian dalam benteng dibuat
lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak di
bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang
perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut.
Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan
serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.
Salah
satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng
Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah
rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki–laki,
92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak
pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.
Pertempuran
di benteng Reket Goib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat
Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak
cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148
orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak. Korban
di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira
dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.
Rekep Goib
Pertempuran
dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak
kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo
yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat
menaklukkan Gayo.
Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka
pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke
daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal
seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok
pesa ntrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum
muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut
dan semuanya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh
sebelum pasukan musuh datang.
Pertempuran dahsyat dan bermandikan
darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan
kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke
tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan
benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan
59 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan
17 orang luka-luka berat.
Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan
Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya
ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung
dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang
bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124
wanita, dan 88 orang anak-anak. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya
seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van
Daalen dan Kapten Watrin. Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda
setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan
korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang
tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130
orang.Di pihak musuh hanya 4 orang mati.
Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa, Menado dan Ambon Yang dipimpin oleh Van Daalen.
Sebagaimana
telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran
terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak
seimbang dengan pasukan musuh, maka ‘perang gerilya’ merupakan
satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas
pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah
bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga ‘perang gerilya’ yang
dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya
pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang
didudukinya.
Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri
dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke
dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300
orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar bi asa,
pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan
rencong terhadap pasukan marsoseyang terjebak itu. Seluruh pasukan
Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter-masuk Kapten
Campion yang mati karena luka-luka berat.
Pasukan gerilyawan
muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap
pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun
1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang
menjadi ‘perang terbuka’. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin
Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali
bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda.
Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali
terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan
secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang
dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.
Pada bulan Desember 1909,
Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan
gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan
pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan
menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis
me-nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana
pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.
Keberhasilan
pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini
karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum
bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda.
Pada bulan Desember
1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat
persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal
tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga
gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang
seorang itu bernama Cit Ma’az (Ma’at), adalah keturunan terakhir dari
Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma’az, yang
baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro
di abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang Aceh tidaklah berakhir
pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah
sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya,
yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi
perlawanan terbuka lagi.
Dengan demikian perang Aceh berlangsung
mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942,
dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama
di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia.